Indonesia telah lama bergantung pada energi fosil, menghadapi tantangan besar dalam mengubah sumber energi menuju yang terbarukan. Ketergantungan ini menciptakan kebutuhan mendesak untuk transisi EBT (energi baru terbarukan), yang sayangnya masih terbentur oleh kurangnya payung hukum yang komprehensif.
Studi Rialp-Criado dkk. (2020) mengungkapkan bahwa 12 negara berhasil membangun industri energi terbarukan melalui intervensi negara yang tepat. Contoh keberhasilan tersebut menjadi relevan bagi Indonesia, yang memiliki potensi energi terbarukan sebesar 441,7 GW, namun hingga 2023, bauran energi terbarukan baru mencapai 13,1 persen dengan target 23 persen pada 2025.
Potensi energi surya Indonesia sebesar 207,8 gigawatt, namun pemanfaatannya masih di bawah 1 persen. Potensi energi air sebesar 94,4 MW, energi angin 978 MW, dan energi panas bumi 28,91 GW menunjukkan betapa besarnya peluang yang belum tergarap optimal.
Hambatan Yuridis dalam Transisi EBT
Instrumen yuridis memegang peranan kunci dalam menentukan keberhasilan transisi energi. Jerman, sebagai contoh, memiliki kebijakan publik dan instrumen yuridis seperti StrEG dan Erneuerbare-Energien-Gesetz (EEG) yang mengintegrasikan feed-in tariff, memfasilitasi investasi di sektor energi terbarukan.
Indonesia memiliki landasan hukum yang cukup, seperti Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan beberapa undang-undang terkait energi terbarukan. Namun, regulasi ini tersebar di berbagai undang-undang dan belum ada undang-undang yang spesifik dan sistemik mengatur transisi EBT.
RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang telah masuk dalam Prolegnas 2022 bertujuan mengaktualisasikan penguasaan negara atas energi terbarukan demi kesejahteraan rakyat. Namun, RUU ini masih memiliki kelemahan, seperti kurangnya perhatian pada konsep trilema energi yang meliputi keamanan energi, akses energi, dan keberlanjutan lingkungan.
RUU EBT cenderung fokus pada keamanan energi dan melibatkan peran besar badan usaha, namun tidak menguraikan detail tentang akses masyarakat terhadap energi dan tarif yang akan dibebankan. Selain itu, terdapat ambiguitas dalam prioritas energi antara energi terbarukan dan energi baru yang tetap melibatkan fosil.
Instrumen hukum yang rinci dan komprehensif diperlukan untuk menyukseskan transisi menuju energi terbarukan. Harapan masyarakat terhadap RUU EBT harus dijawab pemerintah dengan kebijakan yang jelas dan implementatif.
Transisi EBT adalah keniscayaan yang harus didukung oleh regulasi yang kuat, memastikan kemandirian energi dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah harus berkomitmen penuh untuk mengoptimalkan potensi energi terbarukan demi masa depan energi Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Demikian informasi seputar pertumbuhan transisi EBT di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Mehranschool.Org.