Terupdate

Aturan Zonasi Iklan Rokok Mendapat Kritikan dari Sejumlah Pihak

Aturan zonasi iklan rokok menimbulkan pro dan kontra oleh sejumlah pihak. Pelaku industri kreatif menilai bahwa larangan pemajangan iklan rokok luar ruangan dalam radius 500 meter dari lokasi pendidikan berisiko menyebabkan PHK hingga menekan pendapatan Pemda.

Sebagai informasi, aturan zonasi iklan rokok ini termuat dalam Pasal 449 pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan. Para pengusaha industri periklanan menolak kebijakan hal itu karena dinilai menimbulkan efek negatif bagi industri kreatif.

“Dampak negatif tersebut mulai dari penurunan omzet, efisiensi tenaga kerja, hingga menekan pendapatan pemda,” ucap Fabian Bernadi, Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) dalam keterangannya, Kamis (29/8).

Fabianus Bernadi menyebut penetapan pasal tersebut tidak melibatkan partisipasi dari pemangku kepentingan, sehingga terdapat cacat proses dan berpengaruh negatif pada industri periklanan.

Aturan Zonasi Iklan Rokok Dinilai Mematikan Bisnis Periklanan

Fabinaus berpendapat bahwa aturan radius pemasangan iklan tersebut dapat mematikan bisnis periklanan. Sebanyak 86% anggota AMLI bakal terkena dampak langsung dari aturan ini. Fabianus menjelaskan bahwa 50% penghasilan pelaku industri kreatif adalah berasal dari iklan produk tembakau.

“Kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), karena ini menjadi efek domino, salah satunya ke industri kreatif kelas menengah ke bawah. Jadi, dampaknya cukup signifikan,” ucapnya.

Lebih lanjut, Fabianus mengkhawatirkan sebanyak 23% industri periklanan bisa terancam gulung tikar apabila aturan tersebut diterapkan. Sebab sebanyak 75% penghasilan mereka didapatkan dari iklan produk tembakau.

“Contohnya di Bali, sudah adalah laporan, ada festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor rokok. Pengiklan tidak berani, karena takut melanggar PP 28,” ujar Fabianus.

“Ini bukan persoalan 500 meter dari satuan pendidikan saja. Tetapi tidak diletakkan di jalan utama. Saya kira harus dihilangkan karena reklame itu harus di tempat ramai,” lanjutnya.

Fabianus berharap kebijakan ini ditunda penerapannya dan di masa tersebut perlu adanya keterlibatan pihak pengusaha untuk menyampaikan aspirasinya. Menurutnya, regulasi tersebut sulit diaplikasikan lantaran menimbulkan pemahaman yang beragam dan merugikan.

“Kami minta direvisi, paling simple kembali ke Peraturan 109,” ucapnya.

DPI dan Apindo Juga Mengkritik PP Aturan Zonasi Iklan Rokok

Pendapat senada juga datang dari Herry Margono, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia. Herry  menilai keputusan tersebut seolah tidak memahami kondisi yang terjadi di lapangan.

“Harusnya, PP itu bisa membuat industri semakin berkembang, bukan malah menekan kami,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Sutrisno Iwantono, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menilai PP 28/2024 cacat proses dari awal lantaran tidak mengajak keterlibatan pemangku kepentingan yang terdampak.

“Kemunculan peraturan ini telah menimbulkan gejolak yang luar biasa dari lintas sektor, termasuk penolakan secara tegas dari para pengusaha periklanan serta pedagang dan peritel,” ujarnya.

Sutrisno berpendapat bahwa aturan ini berpotensi mengancam penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor yang terkait dengan industri tembakau, sekaligus memicu peningkatan peredaran rokok ilegal akibat pelarangan yang dilakukan secara sepihak.

Di samping penolakan terhadap Pasal 449, Peraturan Pemerintah ini juga mendapat reaksi keras atas Pasal 434, yang melarang penjualan produk tembakau dalam jarak 200 meter dari institusi pendidikan dan area bermain anak-anak, yang ditentang oleh para pedagang dan pengecer.